Potret Keseharian Pelajar SD di Cukul Pengalengan Bandung

Mungkin kita tidak pernah membayangkan bahwa, ada sebuah sekolah SD dimana hampir seluruh muridnya terkena gangguan pencernaan. Pasalnya, setiap hari mereka harus berangkat ke sekolah tanpa mengisi perutnya dengan sepotong makanan. Hal ini terjadi karena, setiap pagi buta saat orang tua mereka pergi bekerja memetik teh, mereka tak sempat (atau mungkin tak mampu) merasakan nikmatnya sarapan pagi.

Sementara pukul 8 pagi mereka masuk sekolah, belajar dengan perut kosong. Terpikir oleh kita, jangankan untuk mencerna pelajaran yang disampaikan guru di depan kelas, menahan lapar perut yang keroncongan pun, pastinya sudah membuyarkan konsentrasi belajar. Mata berkunang-kunang akibat asam yang terus menggerogoti dinding lambungnya.

Setelah bel istiharat berbunyi, baru satu per satu anak mengeluarkan bekalnya. Sepotong mie kering !! Dan disantap langsung tanpa direbus dengan air panas, walau sempat ditaburi bumbu penyedap beraroma MSG. Memang bekal mie instan yang dimakan tanpa direbus adalah sarapan yang terlambat untuk sebagian besar anak-anak SDN Cukul di Kecamatan Pengalengan Bandung. Ironis, membandingkan dengan tayangan televisi soal penarikan produk mie instan karena mengandung bahan pengawet yang membahayakan tubuh.

Kemiskinan, ketidakpedulian, kebodohan, masih menjadi menu hidup sehari-hari penduduk yang hidup dari memetik teh di cukul. Walau sudah harus bersyukur karena memiliki penghasilan tetap sebagai buruh pabrik, namun tetap saja tidak mampu memberikan ”kemewahan” sarapan pagi kepada anak anak mereka.

Sarapan pagi.... sesuatu yang mungkin kerap tak memiliki makna bagi kita. Karena dia selalu tersedia setiap pagi dengan berbagai pilihan tersaji lengkap di atas meja makan. Bahkan, jangan-jangan kita tidak mensyukurinya, untuk setiap suap yang masuk ke mulut kita. Dan lupa menyadari bahwa itu adalah sebuah kenikmatan tiada tara untuk si Ujang, Endin, Asep, Wati, Siti, dan puluhan anak di SDN Cukul.

Kita ingin bertemu dengan mereka, anak-anak SDN Cukul bukan untuk menyombongkan diri apalagi mentertawai mereka. Karena kemiskinan dan ketertinggalan mereka bukanlah sebuah pilihan. Kombinasi antara takdir dan ketidakmampuan KITA untuk bersama-sama menyelesaikannya.

Kita datang tidak untuk menyalahkan siapa-siapa. Tetapi, kita ingin belajar, melihat, merasakan, menjiwai langkah keseharian mereka sekaligus belajar mensyukuri nikmat berlimpah yang selama ini kita dapatkan.

Bisa saja seharusnya kita yang menjadi salah satu dari mereka. Karena cuma ”kebetulan” belaka, Tuhan bermurah hati menjadikan kita bukan mereka.

Kita datang, pasti tidak akan mampu menyelesaikan persoalan mereka. Justru kita datang untuk memperkuat keyakinan kita, bahwa masih banyak orang yang tidak seberuntung kita. Dan itu patut kita syukuri.

Satu keyakinan, kedatangan kita pasti akan berarti untuk mereka, bahwa mereka merasa tidak sendiri. Bahwa, masih ada rasa kemanusiaan, rasa kebersamaan, rasa kepedulian, yang menyatukan kita sesama umat manusia.

Salam
Tat Twam Asih

Wahyu Agung Permana

Comments